Cuplikan Bab 10 dari Novel Jayantaka: ‘Pertemuan para Raja di Nagur’.  Novel Jayantaka  juga Berkisah tentang Kerajaan Nagur di Simalungun

 

Novel Jayantaka David E Purba

Novel Jayantaka tentang Nagur Simalungun

 

sungai alami“Bah Bolon” mengalir deras.  Bah berarti sungai, sedangkan Bolon adalah besar. Artinya sungai besar atau utama. ‘Sungai utama’ yang digunakan sebagai jalur transportasi dan alat penghubung kotaraja Nagur, Tolbak Pargambirian/Kramat Kubah dengan ‘Bandar Perdagangan’ – sebuah kota transit semua barang perdagangan – yang tidak jauh dari kotaraja Nagur. Dari Bandar Pardagangan inilah sebagian barang dikirim ke pelabuhan Tanjung Balai atau Bandar Kalifah yang terletak di bagaian timur pantai svarnadvipa. Pelabuhan Tanjung Balai dikelola dan diawasi dari Bandar Kalifah, yang tidak jauh dari pelabuhan Tanjung Balai.

Persisnya, kerajaan Nagur ini berada di selatan kerajaan Tamiang.

Kerajaan Nagur merupakan kerajaan pesisir pantai timur Svarnadvipa. Pusat kerajaannya berada di pedalaman dengan nama ‘Tolbak Pargambirian’. Komplek istana raja Nagur – Sang Ma Jadi, mirip dengan kotaraja umumnya yang terdapat di Dvipantara; berbentuk pola Shri Cakra. Pusat pemerintahan/ kota induk dengan bentengnya yang berlapis. Dari luar berbentuk bujursangkar, tetapi lapisan dalam berbentuk lingkaran.

Semua bangunannya memiliki pondasi dari balok kayu yang disusun berunduk saling menyilang. Ukiran dan lukisan terdapat di semua dinding bangunan. Atapnya landai. Di ujung atas atap bagian depan, digantung kepala kerbau kemudian di belakangnya menggantung pilinan serat aren hitam yang melambangkan ekor kerbau. Ini sangat simbolis. Motifnya beraneka ragam mulai dari jenis hewan dan gambar dewa-dewi. Simbol itu memiliki makna spiritual.

Sekarang musim penghujan. Tanah terasa sejuk ketika ditapaki.

Wangi tetumbuhan di taman sari benteng kedua, komplek kediaman para putri raja dan putri pembesar sangat terasa. Pagi-pagi sekali para putri raja dan putri bangsawan sudah sibuk mengawasi para pelayan mereka ketika menumbuk padi di lesung besar yang berada di los. Meski peran mereka tidak berat, tetapi harus terlibat dalam urusan seperti ini. Dan yang bertanggungjawab penuh dalam urusan dapur dan logistik istana mulai benteng pertama hingga ke tiga – tempat tinggal para pejabat – adalah tugas salah satu istri atau selir raja, yang bergelar Puang Dapur.

Puang Dapur senantiasa mendidik para putri raja dan bangsawan agar belajar mengatur rumah tangga dan berbagai ketrampilan yang berhubungan dengan ilmu obat-obatan/ramuan, sastra, kamasutra, mantra dan seni lainnya. Pendalaman ilmu perawatan kecantikan dan kesehatan adalah pengetahuan dasar mereka.

Bila jadwal menumbuk padi tiba, suasana los akan semarak, penuh canda dan tawa. Diiringi musik mereka akan bekerja sambil berpantun, menyanyi dengan diiringi musik. Pemain musik juga para putri raja dan putri bangsawan secara berganti-ganti. Syair-syair tentang keindahan alam dan nama dewa-dewi mereka lantunkan dengan harapan padi yang ditumbuk akan memiliki cita rasa yang nikmat nantinya.

Para lelaki juga ikut mempersiapkan kayu bakar dan penyediaan bahan makanan. Dapurnya agak jauh dari lumbung padi. Biasanya letak lumbung menghadap ke suatu sungai. Rumah panggung penduduk yang terdapat pada lapisan keenam dan tujuh selalu menghadap bukit atau gunung sebagai simbol tempat para dewa bemukim. Yang menghubungkan alam tertinggi atau alam yang tidak terjangkau dengan kehidupan manusia. Maka tak heran bila di setiap bukit atau gunung selalu terdapat tempat ‘penggalangan’ – Persembahan, berupa batu tempat sesaji kepada Ia Hyang Tunggal. Di sanalah mereka mengucap syukur atas segala berkah yang mereka terima.

Saat ini adalah zaman titik balik kemakmuran negeri Nagur. Sebab, perkembangan negeri tetangga yang terdapat di ujung pulau Svarnadvipa telah banyak mengalami perubahan.

Prestasi seorang raja di Dvipantara diukur dengan kekuatan pasukan gajahnya, jumlah gajah yang terlatih, ramainya pekan atau bandar-bandar yang dimiliki. Prestasi lainnya adalah kemampuan pemanfaatan hutan Svarnadvipa yang menyediakan gajah-gajah liar. Terkadang upeti persahabatan yang diberikan kepada kerajaan Sriwijaya atau kerajaan sahabat adalah dengan mengirimkan gajah yang sudah dijinakkan dan ketrampilan unik yang dimilikinya. Ada persaingan antarpawang gajah di setiap negeri. Konon, kerajaan Sriwijaya mampu bertahan lima ratusan tahun salah satu faktor penentunya adalah karena mereka memiliki pasukan gajah yang kuat dan banyak. Gajah adalah binatang yang dikeramatkan, dihormati, hewan dewa yang lahir demi kebahagiaan manusia.

Kotaraja masih terlihat sangat sibuk…

Putri Sitalasari baru saja datang bersama ketiga kakak Jayantaka dari kerajaan Perlak setelah menyampaikan surat kepada Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik. Suasana hati sang Putri sedang gundah. Keletihan terlihat nyata di wajah pasukannya. Mereka memasuki benteng ketiga dengan membawa panji kerajaan bergambar singa, yang melambangkan energi keberanian dan kreatifitas. Mereka juga membawa simbol Siva dan Ganesa sebagai perlambang kekuatan api.

Kekesalan Putri Sitalasari belum reda akibat sikap Marah Silu yang masih berniat melanjutkan rencananya. Di sisi lain, di Perlak, keturunan Sayid Abdul Azis pendiri kesultan Perlak sebelah utara (yang mulai bercokol antara tahun 1161-1186), masih ingin membasmi musuh bebuyutannya – raja pribumi. Dan Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik telah mengingatkan kedua kubu tersebut agar tidak menggunakan alasan keyakinan dalam membangun kekuatan.

“Itu adalah cara-cara orang utara,” kritik Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik.

Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik, yang disegani para ulama di Perlak dan Pasai, berusaha mencegah ambisi politik yang bercampur dengan perbedaan penafsiran kedua aliran pemikiran antara kelompok Syiah dan Sunni. Sementara pengikut Syariate-e Muhammad yang sebelumnya adalah bagian keluarga Syiah terpojok di tengah.

Semua masih terngiang di kepala Putri Sitalasari. Walau wangi masakan sudah merayu-rayu di udara halaman kerajaan. Putri Sitalasari tidak terpengaruh. Ia ragu, apakah raja-raja yang berkuasa sekitar Danau Toba – (Batak?) tergiur dengan tawaran keuntungan perdagangan yang dijanjikan Marah Silu bila berhasil menguasai Pasai. Marah Silu memang pintar memilih alasan untuk merayu raja-raja sekitarnya. Berkat kepiawaiannya, Marah Silu telah berhasil mendapatkan kedudukan penting di kesultanan Pasai.

Putri Sitalasari langsung menemui kakeknya; Datu Bolon Sang Gareta.

Sudah sebulan penuh Putri Sitalasari mengemban tugas kerajaan, dibantu oleh ketiga kakak Taka. Memasuki puri putri raja, Kumanih menemani sang Putri menuju purinya. Sejak kedatangan Kumanih, Putri Sitalasari sekarang telah memiliki sahabat untuk bertukar pikiran. Putri Sitalasari sadar apabila hubungan kerajaan pedalaman (kotaraja) dengan kerajaan pesisir (bandar pelabuhannya) terputus, maka kemunduran dan keterbelakangan akan segera menggerogoti. Dan demi menjaga keutuhan antara pedalaman (kotaraja) dengan pintu masuk (pelabuhan) inilah maka kerajaan pedalaman harus pintar-pintar menjalin kekerabatan dengan raja yang kuat, armada laut harus senantiasa dibangun dan diperbaharui.

pemandian putri raja sitalasari

Putri Sitalasari pergi ke sendang khusus para putri raja. Air mancurnya berada di tengah kolam. Airnya setinggi dada orang dewasa. Tanaman bunga menghiasi pemandian dengan indah. Kebetulan para putri raja lainnya telah selesai membersihkan diri. Seorang pelayan membawakan ramu-ramuan baginya. Ramuan untuk melemaskan dan merilekskan urat-urat serta otot-otot akibat perjalanan jauh. Mereka berdua kini berendam dalam kolam. Putri Sitalasari memejamkan matanya, sementara rambutnya diolesi dengan air kulit jeruk purut oleh pelayan. Kumanih juga menikmati pijatan pelayan yang berada di belakangnya.

Menjelang siang, Putri Sitalasari dan ketiga kakak Taka sudah menghadap raja Sang Ma Jadi. Saat itu sang Raja sedang asyik bermain catur raksasa di taman istana. Tampak anak-anak catur sedang digeser oleh tiga orang pelayan sekaligus. Anak catur terbuat dari kayu besar setinggi manusia. Permainan catur itu sudah lama berlangsung. Kali ini lawan raja Sang Ma Jadi adalah panglima perangnya sendiri. Dengan perlahan Datu Bolon Sang Gareta – Penasehat Kerajaan, membisiki sang Raja bahwa putrinya hendak menghadap.

Singgasana terlihat sederhana, meski perabotan serta ukiran yang terdapat di ruangan itu semuanya berlapis emas. Raja Sang Ma Jadi tidak memakai singgasana yang besar, tetapi singgasananya menggunakan bantal dan matras yang empuk, mewah dan dilapisi kain sutra dan beludru dengan motif dari benang emas. Raja duduk di atas bantal, menyiratkan bahwa sang raja hanya memiliki sedikit jarak dari rakyat.

“Ayahanda, Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik mengingatkan kita untuk tidak terlibat perang melawan Pasai dan Perlak. Meski Marah Silu sudah didekati para pedagang Mesir dan Arab, dan mereka telah memberikan dukungannya.” jelas Putri Sitalasari dengan posisi duduk bersimpu sambil menatap ayahnya.

Ekspresi raja seperti sedang menghitung sesuatu. Bola matanya memandang ke arah langit-langit. Kemudian ia menggerakkan jemarinya pada bantal yang menjadi sandaran tangannya. Selama putrinya menyampaikan berita itu, dia mengamati setiap penekanan yang dilakukan putrinya.

“Keuntungan apa yang kita dapat jika kerajaan Nagur membantu Marah Silu? Dan keuntungan apa yang didapat bila tidak membantunya?”  tanya raja kepada segenap pejabat, menteri atau orang yang hadir di ruang sidang istana. Itulah raja Nagur selalu melihat keuntungan. Putri Sitalasari tahu, inilah letak kelemahan ayahnya. Tidak seperti kakek-kakeknya dulu yang bersifat lebih terbuka dan visioner. Hal ini telah menjadi kekhawatiran para pembantu raja. Waktu raja tersita hanya untuk bermain catur saja. Meski kelemahan ini ditutupi secara apik oleh pangeran, kakak Sitalasari dan penasehat, Datu Bolon Sang Gareta.

Semua hening.

Raja memainkan catur perhitungan di kepalanya.

Sementara Putri Sitalasari sudah memiliki sikap yang jelas. Yakni tetap menolak persekutuan dengan Marah Silu. Tanjung, Teruna, dan Kumanih merasakan betapa tergantungnya kerajaan Nagur pada keamanan pantai timur.

Datu Bolon Sang Gareta mencoba mengevaluasi situasi secara keseluruhan. Datu Bolon Sang Gareta bertemu pandang dengan Putri Sitalasari. Mereka seolah telah memiliki kesepakatan. Sorot mata Putri Sitalasari menyiratkan agar kakeknya itu segera memberi nasehat kepada raja mereka.

“Maaf, Baginda Raja, sampai saat ini tiga kerajaan besar masih memberi kebaikan pada kesultanan Mamuluk dan kekhalifahan Abbasyah yang mencoba menempatkan orang-orangnya di bandar-bandar kita seperti Pasai dan Perlak. Namun kita masih setia kepada Sriwijaya. Seperti berita yang telah kita dengar, seorang raja dari Javadvipa, baginda raja Kertanegara sedang berniat melanjutkan cita-cita raja Jayanasa – raja pertama Sriwijaya dan Baladewa untuk menyatukan Dvipantara lagi.”

“Usul hamba, walau perdagangan dengan orang-orang Syiah melalui Pasai dan Perlak menguntungkan, disebabkan kita telah menjalin persahabatan dengan kedua pusat kerajaan tersebut, tetapi sebaiknya kita tidak terkena bujuk rayu Marah Silu. Maaf, Baginda,” urai Datu Bolon Sang Gareta dengan tegas.

Raja Sang Ma Jadi menyimak.

“Sulit bagi kita bila bertetangga dengan kerajaan yang dikendalikan oleh dinasti asing yang tidak menghargai tradisi kita. Kita tidak boleh dikendalikan oleh orang utara. Orang Jambudvipa pun tidak pernah menjajah kita secara politik, karena budaya kita sama,” jawab sang Raja.

“Sebaiknya Raja…, berkenan meninjau kembali janji yang telah diberikan oleh Marah Silu. Kita tidak boleh mengingkari bahwa di kerajaan Pasai dan Perlak, di sana ada ulama yang belum mampu memahami tradisi kita. Sebenarnya, orang utara hanya ingin memanfaatkan Marah Silu untuk mempertahankan kepentingan dagang mereka semata,” terang Datu Bolon Sang Gareta lagi. Sang Penasehat berusaha agar rajanya memiliki pertimbangan yang lebih luas.

Akhirnya dengan berbagai argumen, Datu Bolon Sang Gareta, Putri Sitalasari dan para menteri berhasil membujuk raja mereka agar meninjau ulang keputusannya.

”Baiklah rencana ini belum dapat diputuskan. Dalam minggu ini para raja sahabat akan datang. Mari kita lihat sikap mereka,” sang Raja mengakhiri pertemuan.

Putri Sitalasari dan Datu Bolon Sang Gareta sesaat merasakan kelegaan. Datu Bolon Sang Gareta dan Putri Sitalasari masih duduk dengan sikap hormat hingga raja meninggalkan mereka. Para menteri yang hadir pun merasakan kelegaan yang sama.

Tanpa diduga Raja Sang Ma Jadi bertanya, ”Anakku siapa gerangan pemuda yang berada di pertapaan Guru Sang Ni Bonar itu?”

Wajah Putri Sitalasari tiba-tiba memerah.

Ia malu diperlakukan seperti itu di depan para pejabat. Tak disangka ayahnya sudah mengetahui pertemuan rutinnya dengan Jayantaka. Selama ini alasan Putri Sitalasari pergi ke sana adalah untuk menemui Guru Sang Ni Bonar di hutan Gunung Mariah, wilayah moyang Tetua Marga Purba, kerabat mereka.

….

Dalam seminggu tamu undangan raja Nagur sudah berdatangan.

Ada dua kelompok besar kerajaan pribumi di ujung pulau Svarnadvipa ini. Pertama bagian barat laut (Aceh sekarang), terdiri dari kerajaan Lamuri, Simalangga, Tamiang, dan Gayo (kelompok ini sering disebut orang-orang asing di Pasai dan Perlak sebagai negeri Aca (Indah), dikemudian hari negeri ini secara keseluruhan dipanggil Aceh.

Lalu kelompok kedua adalah negeri orang-orang yang mengitari Danau Laut Tawar  (Danau Toba modern) yang terdiri dari suku Simalungun (Nagur), Karo (kerajaan Lingga), Negeri Toba yang terdiri dari federasi; Negeri Sorimangaraja/Baligeraja; Negeri Ompu Palti Raja dan Negeri Jonggi Manaor.  Dan Negeri Tua Barus, Mandailing dan Negeri Pakpak.

Ketiga, lebih ke selatan lagi adalah jejeran kerajaan Melayu tua lainnya yakni induk gugusan peradaban Minanga Tamwa atau Minangkabau yaitu Sriwijaya dan Dharmasraya.

Ada perubahan yang terjadi di Negeri Toba saat ini, negeri tetangga Nagur (yang kelak disebut Tapanuli Utara). Seorang putra dari Dinasti Sorimangaraja, telah berhasil mencapai kedalaman spiritual. Dan pencapaiannya itu telah diakui oleh kaum brahmana atau kaum Parbaringin di sana. Sementara di negerinya telah lama terjadi konflik antara ketiga keluarga bersaudara itu. Lalu ia tampil dan berhasil menyelesaikan sengketa. Ia berhasil mempersatukan. Ia kemudian diberi gelar Singamangaraja I. Gelar ini diperoleh atas pencapaian spiritualnya. Konon, ia adalah pemuja Wisnu, Siva dan Buddha. Ia adalah seorang Buddha – tercerahkan.

Setelah peristiwa besar itu, ada ramalan beredar di sana yang mengatakan bahwa Sang Jiwa Suci atau Jiwa Singamangaraja akan senantiasa berinkarnasi ke dalam diri orang-orang Toba yang layak. Gelar Sisingamangaraja awalnya bukanlah warisan turun temurun. Tetapi sang Jiwa itulah yang memilih wadahnya. Kelak kepemimpinan Singamangaraja ini akan bertahan hingga abad ke-19.

….

 

Pertemuan yang terjadi di Nagur adalah pertemuan antara orang ‘Aceh’ dan ‘kerajaan sekitar Danau laut Tawar – Danau Toba’. Kedua wilayah ini bersaudara.

Para tamu menginap di rumah adat yang telah disediakan. Prajurit pengiring menginap di rumah yang berada di benteng lapisan ketiga. Kedatangan para tamu dimeriahkan dengan kemegahan pasukan gajah mereka yang dihias semewah mungkin untuk menunjukkan prestise negerinya masing-masing.

Di ujung gerbang benteng kedua sebelah timur, terlihat penjaga memberi pertanda kedatangan tamu. Suara derap kuda yang dipacu kencang mulai terdengar. Ada ratusan jumlahnya. Di antaranya ada seorang pria dengan penutup kepala warna hitam, disertai selendang berwarna kuning yang disandang dari bahu kiri ke pinggang kanan, tampil menyolok. Ia mengenakan sarung berwarna hijau, lengkap dengan keris dan pedang panjang. Wajahnya penuh dengan keringat, rambutnya terurai memanjang. Gelang tangan dari emas bercorak ular naga. Ialah Marah Silu.

Tahun (1276 M) ini, yang memimpin Pasai adalah keturunan laksamana Alwi al Kamil yakni Sultan Bahauddin yang berminat mendekati Marah Silu untuk memperkuat kekuasaanya. Tetapi Marah Silu malah berencana mendepaknya dengan bantuan para raja yang hari ini akan bertemu.

Marah Silu buru-buru memasuki pendopo. Para raja telah menunggu. Tiba waktunya, ia berbicara, ”Paman-pamanku yang terhormat, serta para raja mulia, hamba memberanikan diri memohon bantuan untuk merebut kekuasaan dari tangan dinasti Mamuluk dan Fatimiyah. Kita tahu sejak dulu kerajaan Pasai dan Perlak selalu diincar orang asing. Bencana semakin parah, setelah Sriwijaya yang agung pecah. Kerajaan pribumi hanya menjadi pemasok barang dagangan bagi pedagang asing tetapi sedikit mendapat keuntungan. Dinasti asing penguasa Pasai sedang lemah dikarenakan bantuan dari dinasti Mamuluk tersendat. Kesultanan Mamuluk terancam pecah di Mesir dan Suriah. Sementara kerajaan Perlak selalu dalam bayang-bayang keturunan Sayid Abdul Aziz.” Marah Silu memulai taktiknya.

Semua yang hadir melumat kalimat-kalimat itu.

”Menurut hamba, tiba saatnya kita merebut kedua kerajaan itu. Terutama Pasai karena Perlak saat ini sudah di perintah keturunan Marah Perlak. Tetapi kita tidak tahu sebentar lagi. Aksi balas dendam akan selalu terjadi.”

Sepertinya semua raja yang hadir terpengaruh dengan semua alasan dan ulasan Marah Silu. Ia cukup pintar menyampaikan sisi yang bisa menggugah rasa kekeluargaan. Persoalannya sekarang adalah kapan memulai aksi. Dan jawabannya akan dicari solusinya pada pertemuan ini.

Kemudian raja Barus berdiri. Ia menyampaikan sesuatu, “Saat ini Singosari mencoba menyatukan kita. Tujuannya hendak menjayakan Dvipantara seperti pada masa raja Balaputradewa. Kita harus mempertimbangkan kehadiran mereka juga. Sebentar lagi gabungan tiga kerajaan itu akan mengirimkan utusan untuk mengukuhkan persekutuan tersebut.” raja Barus yang sudah tua itu memberi pertimbangan.

Ia mengingatkan kekhawatirannya akan semakin dekatnya ancaman bangsa Mongol. Meski informasi benturan kekuatan Islam dengan orang Eropa yang Kristen juga sudah sampai ke telinga mereka. Raja Barus yang telah berusia 70 tahun itu kembali memandang Marah Silu.

Raja Barus melanjutkan, ”Hati-hati dengan bujuk rayuan ulama Mamuluk. Kami mendukungmu jika kau tetap menghormati kami sebagai orangtua. Jangan biarkan mereka mengacau persaudaraan kita, terlebih mengganggu Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik.”

Marah Silu tertegun.

Ia tahu hal itu sangat sulit, karena ia seorang prajurit biasa. Walau ia tahu, beberapa kerajaan dan bangsawan telah beralih ke paham Sunni dan Syafii, semata-mata karena ambisi pribadi dan kepentingan ekonomi keluarga.

Sejak awal persidangan, Putri Sitalasari gelisah hendak mengetahui isi pertemuan tersebut, Ia tidak sabar menunggu di purinya. Begitu selesai pertemuan, Putri Sitalasari dan Kumanih langsung menuju puri kediaman Datu Bolon Sang Gareta.

Sementara itu, di gerbang istana lapisan kedua, prajurit jaga menghentikan langkah seorang pertapa.

Prajurit ragu, karena orangtua tersebut bukanlah termasuk salah satu utusan dari manapun. Namun dari sikapnya yang tenang, para penjaga menahan diri. Bajunya berwarna khas dan dikenal sebagai warna para brahmana, paduan warna merah, putih dan hitam, lebih mirip dikatakan jubah. (Hitam mewakili dunia bawah, putih mewakili dunia tengah dan merah mewakili dunia atas. Dalam tradisi Tantra, warna hitam mewakili suara awal – keheningan, warna putih mewakili energi maskulin – penyebab penciptaan, dan warna merah mewakili energi feminim, dunia materi, alam ciptaan.)

Pertapa Nagur

Kulitnya sangat bersih, ditambah penampilannya sangat menenangkan. Rambut panjangnya digelung. Ia membawa tongkat, dan tidak memakai alas kaki. Ada dongengan di tanah Simalungun, bahwa leluhur mereka sering bercerita tentang kisah seorang suci dan bijak yang sering keluar masuk hutan untuk mengajar setiap anak manusia yang siap. Mereka menyebut sosok itu sebagai Batara Guru.

Penjaga itu bertanya, ”Maafkan kami, Guru, jika kami belum mengenal brahmana. Tolong beritahukan kami maksud kedatanganmu. Dan jika hanya lewat atau minta sedekah kami akan ambilkan sesuatu, Guru.” Prajurit itu sangat sopan memperlakukannya.

“Terimakasih, katakan pada junjunganmu, orang tua tak tahu diri dari Gunung Singgalang datang menghaturkan sembah,” jawabnya berwibawa.

Merasakan kharisma yang terpancar, penjaga serta merta memberi hormat. Sejurus kemudian salah seorang dari mereka melapor. Berita tentang pertapa nyentrik itu menyebar bagai api pada musim kering. Semua pembesar dan para raja yang hadir kaget, tersentak. Khususnya, Datu Bolon Sang Gareta. Entah kenapa, wajahnya tiba-tiba tergurat tegang. Putri Sitalasari melihat perubahan yang seketika itu. Ada rasa takut dan kegelisahan yang tersirat. Tidak pernah Datu Bolon Sang Gareta menunjukkan sikap seperti itu bahkan ketika menghadapi masalah serius sekali pun.

“Siapakah tamu itu?” tanya Putri Sitalasari dalam hati.

Nama Hutan/Gunung Singgalang ternyata memiliki arti tersendiri bagi Datu Bolon Sang Gareta. Ia lalu berlari semampunya. Walau hal itu sudah tidak baik bagi kondisi tubuhnya yang sudah tua. Ia lupa diri. Ia berlari semakin kencang. Para prajurit heran bukan kepalang. Ini kejadian langka sekali.

“Pasti ada kejadian yang luar biasa,” pikir mereka.

Berita itu belum sampai ke telinga raja Nagur.

“Jika Guru Bolon Tuahman pun keluar hutan, berarti kondisinya sangat serius atau malapetaka bakal terjadi,” renung Datu Bolon Sang Gareta.

Datu Bolon Sang Gareta tersungkur mencium kaki sang Pertapa. Para prajurit heran. Mereka pun ikut sujud menyembah. Mungkin ia adalah seorang Resi.

“Cukuplah, Gareta,” sapa sang Pertapa dengan menyebut nama kecil muridnya itu.

“Hukumlah hamba, Guru, bila telah lalai menjalankan tugas.”

“Ha… haa… tidak seperti itu, Nak. Orangtua tak tahu diri ini hanya ingin berkunjung sebentar saja. Antarlah aku menuju pendopo.”

“Guru lebih mengetahui,” jawab Penasehat hormat.

Melihat pertapa yang berpakaian tiga warna, para raja yang hendak menyantap makan malam terpaksa terhenti. Mereka teringat akan dongengan leluhur tentang pertapa yang berpakaian mistis itu.

Konon, sembilan puluh tahun yang lalu ada seorang Guru Suci dikabarkan masuk hutan lagi. Sebelumnya, ia keluar sebentar dan secara misterius mengingatkan penduduk bahwa akan terjadi bencana penyakit. Dan benar peringatannya itu terjadi! Para tamu membatin.

Tetapi sudah terlambat.

Sang Pengingat telah berdiri di hadapan mereka.

Terlebih raja Nagur yang baru saja tahu. Ia ketakutan. Moyangnya pernah diselamatkan oleh pertapa itu juga dari  serangan raja Rajendra Chola dari Jambudvipa bagian selatan. Moyang raja Nagur lepas dari serangan itu karena sang Pertapa menyuruh raja Nagur melakukan ritual pembersihkan diri di kuil Hutan Singgalang, bersamaan saat kedatangan prajurit Jambudvipa tersebut. Maka moyang raja Nagur pun selamat. Meski kerajaan harus porak poranda. Saat itu kerajaan Sriwijaya telah kalah karena mereka terlalu arogan menyinggung perasaan Raja Chola.

Orang suci itu sudah berumur lebih dari 190 tahun, tapi masih menunjukkan kelincahan yang luar biasa.

Semuanya memberi hormat dan mohon restu kepadanya.

“Wahai raja pemimpin rakyat, setialah pada air susu Ibumu. Ketahuilah bintang itu sudah jatuh di pulau Javadvipa. Seorang raja Jawa telah terpilih membawa panji Ibu Pertiwi. Bersatulah, bela ikatan persaudaraan sesama keluarga Dvipantara yang di asuh Kabuyutan Sunda. Akan tiba saat di mana Dvipantara akan diperintah seorang raja agung. Manusia telah memasuki zaman baru guna melanjutkan evolusi jiwa yang lebih cepat.

“Dua kekuatan berimbang dari utara akan melahirkan ilmu pengetahuan yang tak pernah terbayangkan. Sebagai akibatnya, untuk beberapa saat ajaran spiritual yang mekar di sini akan redup, dan alam misteri akan menyembunyikan sebagian rahasianya. Hidup manusia akan cepat berubah. Kelak manusia akan saling berperang, menjarah, menghakimi satu sama lain. Itulah pertanda manusia akan memasuki zaman kehilangan rasa kemanusiaannya.

“Manusia akan semakin mencintai dunia. Dirinya akan diperbudak barang ciptaannya. Alat pembunuh yang sangat mematikan akan tercipta lebih dahsyat lagi. Bukalah pintu hati kalian, jangan biarkan keramahan rumah kalian hilang. Kuasa yang ada di tangan kalian adalah titipan Bunda Pertiwi.

“Kelemahan kalian adalah lupa membentengi diri. Perubahan dari luar tidak semuanya baik. Kalian harus memilahnya. Jangan biarkan rakyat berjalan sendiri, atau berbalik ingin menjadi raja. Kaki tidak bisa menjadi kepala dan kepala tidak bisa menjadi kaki.

“Tetapi ingat, wahai para raja, inti ajaran tertinggi yang dimiliki umat manusia ada di sini, kalian harus menjaganya, melindunginya. Kelak hal-hal baru akan menggoda kalian. Jadi persiapkan rakyatmu agar tetap setia pada ajaran leluhur.”

Semua hening bercampur haru. Ada kekuatan besar yang terkandung dalam sabda resi itu….

“Semua keyakinan telah sampai di sini. Baik dari negeri Timur-Tengah, seperti ajaran Isa Masiha dan Nabi Muhammad. Jangan biarkan “pertentangan penafsir-penafsir” yang membedakan kedua ajaran suci itu merusak kesucian kedua Nabi Besar tersebut. Siapa kalian hingga bisa mendikte yang mana nabi yang lebih besar dibanding yang lain?!!

“Perseteruan dua penganut agama besar orang utara akan menebarkan racun dendam dan juga bau kekuasaan. Hempanglah dampak buruknya. Bebaskan penganut semua ajaran yang ada di bumi Dvipantara dari sikap saling membenci, saling mengasingkan dan saling menghakimi. Bumi ini adalah titipan. Jangan salah menentukan sikap jika ingin anak cucu kalian tidak merasakan akibatnya. Bumi Dvipantara bisa diliputi kegelapan olehnya. Dengarkanlah yang dikatakan Tengku Rayek Rahmansyah bin Abdul Malik dan Guru Sang Ni Bonar. Semoga kalian berbahagia, Bende Mataram!”

Guru Suci itu menyihir semua yang hadir.

Sabdanya mengalir bagai sungai deras, menembus batu-batu ketidaktahuan mereka. Sang Guru lalu memberkati sekalian yang hadir. Meski mereka yang hadir tetap tidak mampu mendongakkan wajahnya. Semua tertunduk malu. Ya, malu karena sudah ditelanjangi dari sikap ketidaktahuan mereka.

Guru Bolon Tuahman berjalan perlahan bagai tidak menyentuh tanah meninggalkan pendopo. Tidak ada yang berani menghentikan langkahnya, bahkan Datu Bolon Sang Gareta sendiri, hanya mampu sujud di hadapan gurunya tersebut. Ia berjalan terus menembus keremangan kotaraja. Dan keajaiban itu pun terjadi di depan mata banyak orang, Sang Guru raib ditelan kegelapan malam bersama angin…

Semua gusar…

—————————————–

Penasaran? Silahkan mengetahui kelanjutan ceritanya… Info Buku hubungi Penulis