“MEMPERBAIKI SISTEM PENDIDIKAN”
(Seri Tulisan Anand Krishna tentang Pendidikan yang Holistik – tulisan ke-3)

Tulisan ini, artikel ini adalah salah satu bab yang terdapat dalam buku: YOUTH CHALLENGES AND EMPOWERMENT, Gramedia Pustaka Utama, Anand Krishna, Jakarta, 2010, halaman 59 – 65. Anand Krishna sangat peduli, dan konsern terhadap sistem pendidikan kita.
Lewat tulisan – artikel, buku, seminar, simposium, talk show di radio dan teve, program pemberdayaan diri baik bagi profesi Guru, Pengajar, Pelajar, Mahasiswa, ia (Anand Krishna) selalu ingin mengajak kita untuk melihat kembali bagaimana wajah sistem pendidikan kita. ia pun telah menawarkan berbagai solusi. sebelum keadaan semakin memburuk, ada baiknya kita membaca ulang tulisan di bawah ini:
““Much education today is monumentally ineffective. All too often we are giving
young people cut flowers when should be teaching them to grow their own plants.”
Hampir seluruh sistem pendidikan
kita saat ini tidak bermanfaat.
Kita lebih sering menghadiahkan
bunga-bunga yang sudah dipetik.
Padahal, semestinya kita mengajar
mereka untuk bercocok tanam sendiri.
(John W. Gardner, 1912-2002, PENDIDIK ASAL A.S.)
Atas nama fasilitas, sekolah-sekolah yang didirikan oleh para pedagang atau mereka yang berjiwa dagang menyediakan segala macam sarana kenyamanan bagi putra-putri kita.
Tempat bermain memang dibutuhkan, tetapi untuk apa kolam renang? Untuk apa pula lapangan golf mini di sekolah? Edan.
Para orangtua memilih sekolah yang nyaman bagi anak-anak mereka. Mereka mencari sekolah dengan sarana yang paling lengkap. Mutu pendidikan dan kemampuan para guru untuk mengajar tak teruji. Yang lebih celaka, jumlah dan jenis buku di perpustakaan pun tidak menjadi soal. Padahal, perpustakaan adalah jantung dan jiwa sekolah.
Bung Karno menjadi insinyur berkat pendidikan di sekolah, tetapi menjadi penyambung lidah rakyat, menjadi pemimpin besar, dan bapak bangsa berkat perpustakaan. Demikian pula dengan Hatta, dan tokoh-tokoh besar lain.
Bagaimana Memperbaikinya?
Mau tak mau, kita mesti memperbaiki sistem pendidikan kita. Sebagai pemuda, barangkali kita bertanya, “Lha, bukankah ini urusan pemerintah?”
Ya, betul. Urusan pemerintah, urusan orangtua, urusan para pendidik. Tetapi, jangan lupa bahwa hal ini juga adalah urusan bangsa. Dan, karena urusan bangsa, maka hal itu menjadi urusan kita bersama.
Urusan pendidikan adalah urusanmu, wahai pemuda….
Karena terutama kaulah yang menjadi kelinci percobaan dan korban dari sistem pendidikan yang salah.
Apa kesalahan utama dalam sistem pendidikan kita?
Memisahkan Anak pada Saat Kelas Agama
Sejak usia dini, anak-anak kita dikondisikan untuk melihat dirinya berbeda dari anak-anak lain. Ia adalah bagian dari salah satu agama dan anak-anak lain dari agama lain. Ini adalah kecelakaan pertama, dan yang paling utama.
Pendidikan agama mesti tanggung jawab orangtua. Mereka mesti mampu mengajarkan agama kepada anak-anak mereka. Bila tidak, janganlah melahirkan anak. Jangan karena “enak” saja.
Jadilah orangtua yang bertanggung jawab. Dulu, saya selalu menganjurkan bahwa bila orangtua tidak mampu, biarlah anak-anak kita mendapatkan pelajaran agama dari para agamawan masing-masing agama. Sekarang, saya tidak lagi menganjurkan hal itu. Karena, setelah saya teliti, ternyata banyak agamawan yang terjebak dalam kotak mereka masing-masing. Mereka hidup dalam kotak, wawasan mereka sempit. Pandangan mereka tidak luas. Bagaimana mereka bisa mengajarkan agama kepada anak-anak kita?
Orangtua mesti bertanggung jawab atas pelajaran agama bagi anak-anak mereka. Dan, bila mereka tidak siap juga, seorang pemuda seperti kau, yang saat ini sedang membaca buku ini, mesti menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan bagi adikmu, sepupumu, bahkan anak tetangga, atau anak jalanan.
Kau harus bisa.
Pelajaran Budi Pekerti di Sekolah
Nilai-nilai luhur budaya, nilai-nilai universal keagamaanlah yang mesti diajarkan di sekolah. Inilah pelajaran Budi Pekerti yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
Tidak perlu memisahkan anak-anak kita karena agama. Cerita-cerita dari semua agama yang bersifat mendidik dan universal patut diceritakan kepada semua anak. Mereka harus mengenal nilai-nilai universal yang ada dalam setiap agama. Mereka harus menghormati para tokoh dari semua agama, setiap agama.
Kasih Sayang, kebenaran, Kejujuran, Kesetikawanan, Kebersamaan, Kedamaian, Kebajikan, dan nilai-nilai lain yang bersifat universal ada dalam setiap agama. Nilai-nilai ini yang mesti ditonjolkan supaya kita bisa menumbuhkembangkan kesetiakawanan sosial di dalam diri generasi penerus.
“Bumi Pertiwi Indonesia adalah Ibuku – Dunia adalah rumahku,” inilah slogan yang dapat menjamin kejayaan negeri kita tercinta.

Hasil Perpisahan yang Mencelakakan
Sumpah Pemuda pun telah dikhianti.
Mari kita ulangi lagi sumpah yang mulia itu:
Pertama:
Kami putra dan putri Indonesia,
Mengaku bertumpah darah yang satu,
Tanah air Indonesia.
Kedua:
Kami putra dan putri Indonesia,
Mengaku berbangsa yang satu,
Bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami putra dan putri Indonesia,
Menjunjung tinggi bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia.
Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa… satu, satu, satu… persatuan… itulah seruan para founding father kita.
Apakah kita masih konsekuen dengan sumpah itu? Satu bahasa, bahasa Indonesia… Wahai Pemuda, sadarkah kau bahwa sebagaian dari saudara-saudaramu sudah mengkhianati sumpah ini dan mereka masih saja berkuasa? Malah, ada yang “diangkat” menjadi pejabat tinggi karena dianggap berjasa.
Salah satu peraturan daerah mewajibkan pegawai negara fasih berbahasa asing untuk membaca salah satu kitab suci, sebagai syarat untuk promosi. Syarat untuk menikah pun demikian.
Bukankah esensi agama, inti kitab-kitab suci, perlu dihayati dan dilakoni, dan bukan hanya dihafalkan ayat-ayatnya dalam bahasa asing? Silakan fasih berbahasa Arab, Cina, dan terutama Inggris bila ingin bersaing dalam era globalisasi ini, tetapi janganlah hal itu dikaitkan dengan agama dan kitab suci tertentu.
Apa jadinya bila setiap daerah memberlakukan peraturan seperti itu berdasarkan agama mayoritas yang ada di daerah masing-masing? Papua menjadikan bahasa latin sebagai bahasa wajib, Bali bahasa Sansekerta, sebagian Sumatra dan/atau Kalimantan bahasa Mandarin, dan bahasa Arab di tempat-tempat lain. Lalu, apa jadinya dengan sumpah kita?
Dualitas Hukum
Inilah kesalahan utama lainnya. Dengan diberlakukannya hukum berdasarkan akidah agama di satu tempat dan berdasarkan agama lain di tempat lain, kita telah memecah belah bangsa kita.
Saya yakin para pemuda tempo doeloe yang berinisiatif untuk mempersatukan bangsa kita dengan sumpah yang mulia itu tidak pernah membayangkan terjadinya dualitas hukum di negeri ini.
Semestinya, mereka menambah alinea lain:
Kami Putra dan Putri Indonesia,
Menjunjung tinggi hukum persatuan,
Hukum nasional Indonesia.
Hendaknya kita tidak meremehkan akibat dari dualitas hukum yang sudah terjadi di negeri kita.
Sesaat lagi, kita akan mempelajari kasus Aceh dan memetik hikmah dari kasus tersebut….”